Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) per akhir Agustus 2024, mencatat utang negara Indonesia mencapai angka Rp. 8461,93 Trilliun. Besaran utang negara yang sangat fantastis tersebut, jika dilihat dari rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) angka tersebut mencapai 38,49 persen dari PDB. Berdasarkan pada porsinya, angka 38,49 persen tersebut merupakan rasio utang berada pada batas aman yaitu sebesar 60 persen dari PDB, hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, meski demikian peningkatan utang negara Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah adalah suatu cerminan yang menunjukkan bahwa belanja negara jauh lebih besar dari pada pendapatan negara.
Pengambilan kebijakan fiskal yang ekspansif oleh pemerintah dalam mengejar ketertinggalan infrastruktur dan mendorong ketertinggalan diberbagai bidang kenegaraan baik ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Penggunaan utang negara dalam alokasi APBN untuk menciptakan kesejahteraan sampai saat ini belum dapat dirasakan oleh masyarakat. Utang negara yang sangat besar tidak sebanding dengan ketimpangan sosial dan ketimpangan ekonomi yang semakin meningkat, hal ini dibuktikan dengan harga kebutuhan pokok yang terus naik, kenaikan pajak, biaya pendidikan yang semakin mahal, kenaikan harga BBM, layanan kesehatan yang belum adil, belum tercapainya pemerataan pembangunan, meningkatnya angka pengangguran, ketertinggalan sumber daya manusia, permasalahan pengelolaan sumber daya alam, ketimpangan fiskal baik secara vertikal maupun horizontal dan berbagai ketimpangan lainnya.
Merujuk pada amanat konstitusi Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 23 ayat (1) yang berbunyi: “anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Maka, atas apa yang menjadi harapan, cita-cita (das sollen) tidak sejalan dengan kenyataan (das sein), berbagai permasalahan dalam pengelolaan keuangan negara meciptakan masalah baru terhadap kehidupan berbangsa pula. Lalu, apa yang salah sehingga utang negara terus meningkat? Mengapa masyarakat tidak sejahtera? Mengapa masih bayak kemiskinan di negara yang kaya akan sumber daya alam? Tentu hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor globalisasi, faktor geografis, faktor pemerintah dalam pembuatan kebijakan pengelolaan keuangan negara, dan faktor dari masyarakat itu sendiri.
Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dijelaskan bahwa peningkatan utang negara terjadi dalam upaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, di saat pertumbuhan turun, Pemerintah mengambil kebijakan ekpansif dengan meningkatkan belanja untuk membiayai kegiatan-kegiatan produktif seperti pembangunan infrastruktur, sumber daya manusia yang diarahkan pada kegiatan di bidang kesehatan dan pendidikan, serta bantuan sosial. Dengan adanya kebijakan yang ekspansif tersebut, sementara penerimaan negara belum dapat menutupi belanja negara, maka terjadi defisit yang utamanya dibiayai melalui utang.
Sehingga dalam melakukan dan mengelola utang negara, Pemerintah mempunyai aturan main yaitu berdasarkan peraturan perundang-undangan, penerapan kaidah-kaidah yang baik (best practices) dan prinsip kehatian-hatian (prudent) serta hal penting yang juga perlu dipahami, bahwa utang tersebut digunakan dalam rangka mendukung pembangunan nasional, disepakati bersama antara Pemerintah dan DPR RI ketika membahas dan menetapkan APBN dengan demikian pengelolaan keuangan negara dilakukan tepat pada sasaran dalam memberikan manfaat kepada masyarakat dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Tidak hanya itu Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan keuangan negara juga berperan besar untuk dapat membantu mewujudkan Good Governance melalui pengawasan dan kepedulian langsung dari masyarakat. Sehingga penggunaan utang negara melalui alokasi APBN dapat dikelola dengan baik untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera.
Penulis : Riski Pardinata Berutu, S.H.
Mahasiswa Megister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara